Harmoni dalam Keluarga, Kebahagiaan Sejati Anak-anak

Harmoni dalam Keluarga, Kebahagiaan Sejati Anak-anak

Mengasuh anak bukan persoalan memenuhi kebutuhan jasmani saja tapi juga kebutuhan psikologis. Kebutuhan psikologis juga bukan hanya dilakukan ketika anak sudah beranjak remaja, tapi harus dimulai sejak masih balita, bahkan dalam kandungan. Kebutuhan psikologis seorang anak dapat terpenuhi ketika orang tua mengasuh dengan emosi stabil dan komunikasi yang harmonis. Dalam kondisi ini, orang tua dapat mencurahkan kasih sayang yang tulus dan maksimal. Ayah dan ibu harus terlebih dulu membangun relasi yang baik agar mampu memberikan pengasuhan yang positif. Terlebih karena ayah dan ibu berperan sebagai orang pertama yang memperkenalkan arti sebuah keluarga yang harmonis bagi seorang anak. 

Keluarga yang harmonis adalah mimpi semua orang, termasuk para ibu di Kabupaten Sintang, Kalimantan Barat. Perjalanan membangun keluarga harmonis tidak mudah tapi bukan berarti tidak mungkin. 

“Ketika ada masalah, saya dan suami suka selesaikan dengan emosi, suka juga dengan cara diam. Saling diam satu sama lain berhari-hari. Saya merasa sedih, terkadang sampai nangis,” cerita Indri, ibu dari Daffa. Ia melanjutkan, “Relasi dengan anak kadang akrab, kadang kelahi karena masih kesulitan berkomunikasi. Bagaimana sih cara ngomong sama anak usia empat tahun agar anak mudah paham? Jadinya saya suka otoriter, anak saya nurut tapi karena takut,”. 

Indri tidak memimpikan keseharian keluarganya seperti ini. Sebagai ibu dan istri, ia memulai perubahan dalam keluarganya ketika berpartisipasi aktif dalam Parent Support Group (PSG) di desa. “Setelah mengikuti PSG ini perasan saya tenang karna dapat menyelesaikan masalah dengan baik dan tidak sampai berhari-hari. Saya juga lebih sabar dengan anak dan mulai mengerti kalau komunikasi dengan anak,” tuturnya. 

Parent Support Group merupakan kelompok orang tua yang rutin melakukan pertemuan untuk membahas cara mengasuh anak serta memulihkan keluarga. Dalam kelompok tersebut, ayah dan ibu dapat bertukar ilmu dan pengalaman. Bagi orang tua, diskusi dalam PSG dapat menjadi terapi yang membantu mereka membangun keluarga yang baik. 

Setiap ibu di Sintang yang mengikuti PSG memiliki harapan yang sama. Salah satu ibu lainnya, Nini, mengungkapkan, “Saya bersedia hadir dan aktif mengikuti kegiatan ini karena saya mempunyai tujuan ingin membangun keluarga yang harmonis. Alhamdulilah setelah ada kegiatan ini saya bisa mendapat ilmu dan pengalaman, belajar dan mendapat saran,”. 

Di rumah, Nini dan suaminya terbiasa jarang berkomunikasi. Nini membahasakan relasinya dengan suami sebagai relasi yang lebih banyak diam. “Kalau dengan anak, saya kurang paham apa yang ia mau dan mana yang harus dituruti,” ujarnya. Hari demi hari Nini lalui dengan banyak ujian kesabaran. Ujian tersebut berhasil ia lalui ketika ada kesabaran ekstra yang ia temukan setelah mengikuti PSG. 

Perubahan-perubahan kecil pun mulai terjadi di rumahnya. “Semenjak lebih sabar, anak saya lebih bisa mendengarkan saya. Sekarang kalau sehabis main, ia langsung membereskannya, bisa belajar untuk lebih bertanggung jawab,” ceritanya. 

Kelompok PSG di salah satu desa di Kabupaten Sintang ini juga menjadi sumber berbagi informasi mengenai tumbuh-kembang anak. Para ibu balita juga memperoleh wawasan tentang nutrisi dan stimulasi yang tepat. Bagi Sulastri, ibu dari Aisyah yang masih berusia dua tahun, PSG dapat membantunya ketika bingung bagaimana cara mengasuh balita.  

“Saya masih banyak tidak tahu mengenai pola asuh terhadap anak, baik itu dari segi kesehatan, makanan, dan cara mendidik anak yang baik. Dan saya juga belum tahu bagaimana cara berkomunikasi yang benar terhadap anak yang masih di tahap pertumbuhan. Jadi saya hanya bisa melakukan pola asuh sebisa dan sepengetahuan saya saja,” aku Sulastri. Yang ia ketahui, mendidik anak itu dengan membentak dan mengomeli jika Aisyah melakukan kesalahan. Sulastri juga sering menuruti permintaan anak karena tidak betah mendengarkan anak menangis. 

“Sikap anak saya pada saat itu, jadi temperamen yang kasar, suka marah, dan ketika meminta sesuatu harus terpenuhi,” tuturnya. PSG memperkenalkan Sulastri dengan cara pengasuhan yang lebih demokratis namun tetap dalam koridor yang tepat. Ia belajar untuk lebih sabar dan mengerti sudut pandang anaknya. Perlahan Sulastri mengubah pola asuhnya dan Aisyah pun turut berubah. Sulastri juga mengkomunikasikan hal ini dengan suaminya sehingga mereka bisa menyepakati pola asuh yang diterapkan untuk Aisyah. 

Sekarang rumah Sulastri sudah lebih bahagia. Keluarganya bisa quality time, mengambil waktu untuk mendampingi anaknya bermain dan belajar. “Aisyah jadi anak yang lebih berani dan percaya diri sekarang,” ujar Sulastri. 

Keluarga demi keluarga di Kabupaten Sintang terus mengalami transformasi. Anak yang melekat dalam keluarga-keluarga ini akan memiliki bekal yang cukup untuk berkembang dengan maksimal dan terhindar dari segala bentuk kekerasan. Selain mengalami transformasi di rumah, keluarga-keluarga ini pun sedang memutus rantai pengasuhan yang tidak tepat. Sehingga generasi masa depan di Kabupaten Sintang dapat menjadi orang tua yang mengasuh dengan pola yang penuh kasih dan sukacita. 

 

 

Penulis: Mariana Kurniawati (Communication Executive


Artikel Terkait